Kemiskinan adalah salah satu masalah terbesar bagi negara sedang berkembang. Indonesia, sebagai salah satu negara sedang berkembang yang terbesar di Asia Tenggara, tidak lepas dari permasalahan kemiskinan. Data BPS semester I tahun 2019 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di pedesaan sebanyak 15,149 juta orang berbanding 9,994 juta orang penduduk miskin di perkotaan, menunjukkan bahwa penduduk miskin di Indonesia tersebar di pedesaan dan butuh perhatian khusus pemerintah terhadap desa. Oleh karena itu, sudah tepat jika strategi pemerintah untuk membangun Indonesia dimulai dari pinggiran atau pedesaan. Akan tetapi pertanyaannya adalah apakah langkah konkret itu sudah dilaksanakan oleh pemerintah atau hanya sekedar tertulis di atas kertas? Ini yang perlu menjadi bahan diskusi.
Baru-baru ini kita dengar berita di pasuruan, sebuah sekolah ambruk, yang menewaskan seorang guru dan seorang pelajar. Mirisnya kejadian itu bukan terjadi di Nduga papua, Kolaka Sulawesi tenggara, atau Rote Ndao NTT, ini hanya berjarak tidak lebih dari 100 km dari Surabaya, kota pemerintahan terbesar di Indonesia kedua. Kejadian ini tentunya mengingatkan kita kembali tentang pentingnya alokasi anggaran infrastruktur pendidikan untuk menunjang terlaksananya proses pendidikan secara nyaman dan baik, karena infrastruktur adalah syarat utama dalam pelaksanaan setiap kegiatan.
Apa yg terjadi ini seolah sederhana, sekedar sekolah ambruk, tapi substansi dan esensi yang sebenarnya terjadi, kita diingatkan kembali pentingnya pembangunan infrastruktur pendidikan. Seorang ahli ekonomi di Amerika yaitu Ragna Nurske pernah membuat teori vicious circle poverty (lingkaran setan kemiskinan) dimana pada prinsipnya, kemiskinan itu disebabkan oleh tiga hal utama yaitu rendahnya tingkat pendidikan sehingga tidak mampu mendapat pendidikan tinggi, ketidakmampuan memperoleh pekerjaan, dan rendahnya tingkat kesehatan. Artinya substansi yang terjadi pada kasus Pasuruan, kelak akan berdampak pada tingkat kesejahteraan dan kemiskinan di Indonesia.
Faktanya, di tahun 2016, Kemendikbud merilis data bahwa hanya 30% ruang kelas di Indonesia dalam keadaan baik, sisanya 10% rusak parah, 6% rusak sedang, dan sisanya rusak ringan. Artinya ada 70% kelas dalam keadaan rusak, atau 779.088 sekolah yang dalam keadaan rusak dan perlu menjadi perhatian pemerintah pusat maupun daerah. Melihat semangat pemerintah yang ingin membangun infrastruktur, maka sudah seharusnya selain pembangunan jalan, tol, dan jembatan, pembangunan sekolah adalah salah satu pilar utama yang harus diprioritaskan.
Meskipun infrastruktur jalan, jembatan dan transportasi sangat utama untuk menopang perekonomian, namun isu lemahnya infrastuktur pendidikan juga sudah selayaknya menjadi isu penting yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Laporan Kemendikbud mencatat bahwa masalah utama dari tertundanya penyelesaian rehabilitasi dan renovasi sekolah adalah karena kesulitan akses transportasi dan kondisi geografis. Ini artinya ada isu akses. Melihat data yang ada, saat ini Indonesia sedang mengalami darurat pendidikan. Isu zonasi itu penting. Isu guru honorarium yang tertunda bayar juga penting. Isu bangunan sekolah ini teramat penting. Ini masuk dalam kategori darurat. Dan, artinya pula, ketika kita bicara visi Indonesia, ini juga penting untuk dimasukkan dalam persoalan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana disampaikan oleh Nurske, bahwa pendidikan adalah salah satu faktor penyebab terjadinya kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya jumlah penduduk miskin di pedesaan, yang cenderung memiliki pendidikan rendah.
Keterkaitan kemiskinan dengan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan. Hal tersebut seharusnya menjadi semangat untuk terus melakukan upaya mencerdaskan bangsa. Tidak terkecuali, keadilan dalam memperoleh pendidikan harus diperjuangkan dan seharusnya pemerintah berada di garda terdepan untuk mewujudkannya. Penduduk miskin dalam konteks pendidikan sosial mempunyai kaitan terhadap upaya pemberdayaan, partisipasi, demokratisasi, dan kepercayaan diri, maupun kemandirian.
Pendidikan merupakan kesempatan untuk memperoleh posisi ekonomi yang kuat dalam masyarakat melalui kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga dapat memenuhi asset dan kebutuhan dasarnya. Selain itu, pendidikan merupakan investasi dan kesempatan untuk berkompetisi guna mendapatkan kesempatan memperoleh penghidupan yang lebih baik di masa depan dan turut terlibat dalam proses pembangunan. Dengan pendidikan memperoleh alokasi anggaran infrastruktur yang memadai dengan memperhatikan kebutuhan riil dan kecukupan rasio jumlah pelajar dan ruang kelas, serta didukung dengan infrastruktur teknologi dan kurikulum yang menjangkau semua (education for all), maka pendidikan akan menjadi instrumen paling efektif untuk memotong mata rantai kemiskinan yang ada di Indonesia.
Ditulis oleh: Choirul Anam (Mahasiswa Doktor bidang Kebijakan Publik, Charles University)